Sabtu, 16 Maret 2019

Sinode Paroki St. Herkulanus: Ketika sukacita hilang di tengah keprihatinan


DEPOK - Banyak keluarga Katolik (pasutri) bubar (pisah) di tengah jalan, dan banyak wanita Katolik mulai sadar jika terjebak untuk bertahan karena perkawinan itu adalah sakramen. Banyak alasan yang dialami wanita Katolik dalam kehidupan berkeluarga, maka Gereja mesti lebih terbuka dengan situasi ini, selain memberi perhatian dan dukungan doa.

Gereja masih enggan memberi perhatian bagi pasutri Katolik yang bermasalah karena Gereja melihatnya sebagai aib. Maka Gereja belum ingin kompromi untuk menata kembali kebijakan agar pasutri bermasalah boleh mendapat harapan yang baru.

"Gereja harus memberi perhatian khusus karena di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang tidak mengalami sukacita dalam keluarga," ujar salah satu peserta Sinode 2 Keuskupan Bogor Tingkat Paroki St. Herkulanus Depok Sabtu pekan lalu (9/3).

Seringkali, gadget pun bisa jadi sumber malapetaka karena banyak perselingkuhan, pertengkaran dalam keluarga bermula dari gadget. "Banyak pasutri mulai tidak jujur satu sama lain. Orang katolik yang sudah nikah karena perkawinan belum tentu luput dari persoalan. Ingat, penggunaan teknologi bisa membawa keberkahan tapi juga kehancuran bagi keluarga," peserta yang lain mengingatkan.

Gadget juga mengancam generasi anak-anak Katolik karena banyak anak yang mulai candu pada gadget. Seorang peserta Sinode keras berbicara bahwa penggunaan teknologi di sekolah justru menumpulkan daya kreatifitas anak, untuk berpikir sendiri, menghasilkan ide sendiri.

"Google seolah-olah jadi Allah baru dalam dunia teknologi yang menggampangkan semua orang. Dan itu menumpulkan cara berpikir orang, menumpulkan logika, bukan proses mencerdaskan yang lebih baik, lebih sehat, dan bermanfaat," ujarnya.

Orang tua dan guru memiliki peran sentral untuk mengendalikan anak dalam menggunakan teknologi. Di sekolah siswa gampang sekali mencontek dari google, buat makalah, ujian, mengerjakan PR.

"Dunia pendidikan Indonesia masih mengembangkan suatu peran ekonomi yang mengajarkan anak kita berkompetisi. Padahal itu sangat berbeda dengan di dunia luar yang justru mengajarkan anak untuk berkerja sama, bukan berkompetisi, tapi saling dukung, saling menopang satu sama lain. Sekolah katolik harus kembangan budaya membangun sinergi kebersamaan antara guru dan orang tua agar anak tumbuh kembang secara bersama-sama."

Sekolah Katolik sendiri mengalami kemunduran di berbagai aspek. Seorang peserta Sinode menilai bahwa banyak sekolah Katolik sudah kehilangan karakternya, padahal dulu sekolah Katolik sangat dikenal karakter kuatnya.

"Apakah sekarang ada perbedaan (karakter) antara anak Katolik di sekolah Katolik dan anak Katolik di sekolah non Katolik? Akhirnya kita hanya berharap pendidikan di dalam keluarga, tapi orangtua sering tak punya waktu. Butuh proses agar orangtua mensiasati peran gandanya (mencari nafkah dan memberi pendampingan pada anak)," ujarnya.

Sekolah Katolik banyak tergerus mutunya maka banyak yang akhirnya tutup karena jumlah siswa yang berkurang drastis dari tahun ke tahun. Sekolah Katolik mengalami kesulitan pembiayaan maka sulit membiayai para guru, apalagi meningkatkan ketrampilan guru.

"Kita perlu realistis, dengan keberadaan sekolah negeri yang makin maju dan berkualitas, mungkin yayasan Katolik yang tidak kuat secara finansial mulai memikirkan untuk di-negrikan. Kita jangan bunuh diri sendiri. Sekolah-sekolah Katolik harus bisa diselamatkan, sambil tetap pertahankan model pendidikan Katolik. Kita perlu jujur bertanya apakah kita masih sanggup biaya sekolah Katolik?" tutur seorang peserta Sinode.

Gereja mesti membantu sekolah-sekolah Katolik. Di Keuskupan Bogor, sekolah-sekolah Katolik saling membantu dan menopang. Gereja St Herkulanus Depok sudah menyiapkan sarana dan fasilitas luar biasa bagi OMK. Gereja Herkulanus juga menginisiasi gerakan orang tua asuh, membantu biaya sekolah anak-anak kurang mampu.

Keuskupan Bogor, melalui Komisi Pendidikan, terutama Majelis Pendidikan Katolik (MPK) mesti lebih gencar memberi pelatihan bagi guru-guru Katolik se-Keuskupan Bogor agar guru mempunyai ketrampilan yang baik. Di Bogor banyak muncul sekolah Islam terpadu, sekolah Internasional, maka sekolah Katolik banyak tergerus," ungkap salah satu peserta Sinode.

"Guru-guru tidak makan cinta, maka sekolah Katolik itu mahal. Banyak siswa Katolik yang tinggalkan sekolah Katolik karena tidak mampu membayar. Tapi tidak usah berkecil hati. Gereja dan keluarga tentu serius membantu siswa agar tetap jadi pengikut Kristus yang sejati," demikian seorang peserta yang adalah seorang guru memberi peneguhan.

Peserta Sinode yang lain berharap agar sekolah Katolik akan memberi perhatian bagi anak-anak berkebutuhan khusus, agar tidak hanya masuk SLB. "Sekolah Muslim sudah mengembangkan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus, tapi sekolah Katolik belum. Tentu perlu cara, program, infrastruktur khusus."

Romo Paulus Haruna, Vikjen Keuskupan Bogor, menegaskan bahwa Sinode ini adalah momen kita dipanggil untuk bersukacita. "Kesulitan apapun dalam hidup kita, kita tidak boleh kehilangan suka cita yang datang dari Tuhan. Ini ajaran bapak Paus kita, Paus Fransiskus. Mari, kita kembali pada kasih dalam membangun keluarga dan gereja, juga Kesetiaan, seperti Keluarga Kudus Nazareth. Mari bergandengan tangan, berjalan bersama, kita bersinode."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar