Sabtu, 02 Februari 2019

NKRI Darurat Radikalisme, Pilih Presiden yang tidak utopis


DEPOK - Politik itu panggilan untuk menyucikan ruang-ruang yang kotor. Maka umat Katolik wajib berpartisipasi agar negri dan bangsa ini tidak kehilangan arah, tandas RD Benny Susetyo, anggota Badan Pembinaan Idelologi Pancasila dalam seminar Kebangsaan bertema "Saya Katolik Saya Indonesia" di Bogor, 20 Januari 2019 lalu.

RD Benny Susetyo juga mengingatkan bahwa situasi Indonesia saat ini darurat demokrasi, darurat radikalisme yang akan mengancam keutuhan bangsa ini. "Maka kita harus menjadi pemilih rasional yang mampu memberikan sesuatu yang tidak utopis. Jangan pilih pemimpin yang meledak-ledak, emosional, janji penuh kebohongan. Kita pilih (pemimpin model ini) maka kita akan tersesat."

RD Benny berharap umat Katolik tidak kehilangan rasionalitas dan cara berpikir rasional. Pemimpin yang terbaik mesti tidak melanggar HAM, masa lalunya jelas, rekam jejaknya jelas, terbukti kemampuannya, ujarnya.

Kelompok radikalisme yang ingin mengganti sistem pemerintah dan ideologi negara ini, kata RD Benny, begitu masif menciptakan sentimen-sentimen yang tampak rasional padahal irasional, dan virus kebohongan disebar menyasar kelompok masyarakat tak waras.

Redaksi mencatat, sejak 2016, kelompok radikalisme (Islam garis kanan) ingin jadikan Indonesia jatuh seperti Suriah. Agama dimainkan sangat kuat untuk kepentingan politik kekuasaan. Kelompok ini secara terbuka memfitnah Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan meneriak slogan 2019 Ganti Presiden.

Kelompok ini sudah masuk ke dalam partai politik, sambil terus aktif lakukan dakwah tausyah di masjid-masjid. Muncul kelompok 212, acara HUT 212, reuni alumni 212, mereka ingin ganti sistim pemerintah menjadi khilafah.

Kelompok ini secara terbuka menuding Jokowi anti Islam, tidak pro pada muslim, ijinkan kepolisian mengkriminalisasi ulama, bahkan menuding Jokowi asal Cina, beragama Kristen.

Kelompok ini mengklaim diri mereka paling Islam, membunuh karakter banyak ulama, memfitnah ulama, tokoh agama, dituduh paham syah, liberal, dan sebagainya.  Ini jelas fitnah, tapi kelompok radikal ini menganggap fitnah, kebohongan, mengkafirkan pihak lain sebagai sesuatu yang sah dan bagian dari jihad.

Islam garis kanan seperti Islam transnasional (Islam impor) mulai berkembang di Indonesia sejak era orde baru, tapi mulai muncul di permukaan di era orde reformasi seiring dengan semakin terbukanya struktur politik di negri ini.

Organisasi Islam Transnasional, hasil dari proses globalisasi, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama'ah Ansharusy Syariah (JAS), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharut Syariah, Front Pembela Islam (FPI). Visi dan misi perjuangan mereka berbeda, konsen dengan aktivitas dakwah sampai konsen dengan perjuangan politik. Kelompok Islam kanan ini ingin membangkitkan kembali sistem khilafah.

Mendiang Dr. KH. A. Hasyim Muzadi pernah mengingatkan pihak kepolisian dan militer untuk serius menangani ancaman serius dari luar. "Ada suatu kekuatan lain dan sebentar lagi Bangsa Indonesia akan bubar. NKRI akan selesai, ada Islam Transnasional sudah masuk dan berkembang di Indonesia. Mereka mengambil alih masjid dari Sabang sampai Merauke, sekolah kami, yayasan kami. Bukan NU saja tapi juga Muhamadyah. Ini sedang berlangsung dasyat. Sejak dulu Indonesia yang dikenal dengan islam yang ramah dengan kedamaian, islam yang datang dengan budaya, tapi sekarang ada kekuatan global dan kami tergerus, terpojok. Sebentar lagi negara ini akan hilang".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar